
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) diadopsi pada 25 September 2015 oleh para pemimpin dunia dalam Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Dikenal juga sebagai Agenda 2030, SDGs menjadi kerangka kerja global untuk pembangunan berkelanjutan yang bertujuan mewujudkan perdamaian dan kesejahteraan bagi manusia serta planet, baik saat ini maupun di masa depan.
Sepuluh tahun setelah PBB mengadopsi 17 SDGs, sejumlah kemajuan telah dicapai, namun banyak target sosial yang justru melambat. Sebuah studi dari University of Groningen menemukan bahwa indikator SDGs saat ini hanya menangkap sebagian kecil aspek kesejahteraan manusia.
Tiga peneliti dari University of Groningen—Jing Li, Anne Warchold, dan Prajal Pradhan—menyajikan evaluasi komprehensif atas indikator kesejahteraan dan mengusulkan pendekatan baru yang lebih inklusif dan berbasis sistem. Hasil penelitian mereka dipublikasikan dalam Ecological Indicators.
Studi tersebut meninjau 108 kajian keberlanjutan dan mengidentifikasi 725 indikator kesejahteraan, banyak di antaranya tidak terhubung dengan kerangka global seperti SDGs.
Indikator yang sering terabaikan antara lain kesehatan mental, inklusi sosial, identitas budaya, dan tanggung jawab antargenerasi.
Para peneliti mengusulkan kerangka baru yang mencakup lima tema utama:
- Identitas diri – kesehatan mental, kesejahteraan subjektif
- Interaksi sosial – kesetaraan, inklusi, budaya
- Penyediaan sosial – tata kelola, layanan publik
- Keterhubungan lingkungan – akses ke alam, keamanan iklim
- Pengukuran tingkat makro – demografi, pembangunan ekonomi
Pada intinya, mengukur kemajuan tidak cukup hanya dengan data ekonomi atau layanan dasar. Diperlukan ukuran yang mencerminkan pengalaman nyata kehidupan, termasuk kebahagiaan, rasa aman, dan keterhubungan dengan lingkungan.
Pendekatan ini diharapkan dapat mendukung perumusan kebijakan yang adil, inklusif, dan relevan bagi generasi sekarang maupun mendatang. (*)